Kamis, 11 November 2010

“PENGGUNAAN ASAS DISKRESI DALAM PELAKSANAAN FUNGSI PEMERINTAHAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Terbentuknya suatu Negara atau pemerintahan (aparat penyelenggara), secara filosofis, antara lain memang ditujukan untuk mencegah dan menghindari, setidak-tidaknya mengurangi kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di dalam masyarakat. Beberapa teori menyebutkan bahwa  Negara bertujuan untuk memelihara dan menjamin hak-hak alamiah manusia, yaitu hak hidup, hak merdeka dan hak atas harta sendiri (John Locke), untuk mencapai the greatest happiness of the greatest number (John Stuart Mill), menciptakan perdamaian dunia dengan jalan menciptakan undang-undang bagi seluruh umat manusia (Dante). Sedangkan James Wilford membagi tujuan Negara menjadi 3 (tiga), yaitu tujuan asli ialah pemeliharaan perdamaian, ketertiban, keamanan dan keadilan, tujuan sekunder ialah kesejahteraan warga negara, dan tujuan memajukan peradaban.
Pakar lain menyebutkan bahwa fungsi negara adalah melaksanakan penertiban, menghendaki kesejahteraan dan kemakmuran, fungsi pertahanan, dan menegakkan keadilan. Ini berarti pula bahwa fungsi negara dan pemerintah adalah memberikan perlindungan bagi warganya, baik dibidang politik maupun sosial ekonomi. Oleh karenanya tugas pemerintah diperluas dengan maksud untuk menjamin kepentingan umum sehingga lapangan tugasnya mencakup berbagai aspek seperti kesehatan rakyat, pendidikan, perumahan, distribusi tanah, dan sebagainya.[1]
Dilihat dari pekerjaan yang dikerjakan oleh aparatur pemerintah, fungsi pemerintahan memiliki cakupan yang sangat luas, terlebih lagi dalam konsep Negara kesejahteraan (welfare state).[2] Akan tetapi secara keseluruhan fungsi pemerintahan terdiri dari berbagai macam tindakan-tindakan pemerintah : keputusan-keputusan, ketetapan-ketetapan yang bersifat umum, tindakan-tindakan hukum perdata dan tindakan-tindakan nyata. Hanya perundang-undangan dari penguasa politik dan peradilan oleh para hakim tidak termasuk di dalamnya.[3] Di dalam Negara kesejahteraan (welfare state) konsep dasar penyelenggaraan pemerintahan tertuju pada terwujudnya kesejahteraan umum, karena fungsi pemerintahan dapat dipetakan meliputi : [4]
1.      Fungsi perencanaan (planing)
2.      Fungsi pengaturan (regeling)
3.      Fungsi tata pemerintahan (bestuur)
4.      Fungsi kepolisian (police)
5.      Fungsi penyelesaian perselisihan secara administrative (administratieve rechtspleging)
6.      Fungsi tata-usaha yang dilakukan oleh kantor pemerintahan dan sebagainya
7.      Fungsi pelayanan (public service)
8.      Fungsi pemberdayaan dan pembangunan
9.      Fungsi penyelenggaraan usaha-usaha Negara yang dilakukan oleh dinas-dinas, lembaga-lembaga dan perusahaan Negara
10.  Fungsi keuangan
11.  Fungsi hubungan luar negeri
12.  Fungsi pertahanan dan keamanan
13.  Fungsi menyelenggarakan kesejahteraan umum
14.  Fungsi kewarganegaraan.
Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dan bagian awal dari hukum administrasi, karena pemerintahan (administrasi) baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya, artinya keabsahan tindak pemerintahan atas dasar wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (legalitiet beginselen). Menurut S.F. Marbun, wewenang mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum. Dengan demikian, wewenang pemerintahan memiliki sifat-sifat, antara lain :[5]
1.      Express implied
2.      Jelas maksud dan tujuannya
3.      Terikat pada waktu tertentu
4.      Tunduk pada batasan-batasan hukum tertulis dan tidak tertulis ; dan
5.      Isi wewenang dapat bersifat umum (abstrak) dan konkrit.
Di dalam kepustakaan hukum publik terutama dalam hukum administrasi, wewenang pemerintah berdasarkan sifatnya dapat dilakukan pembagian, sebagai berikut :
1.      Wewenang yang bersifat terikat : yakni wewenang yang harus sesuai dengan aturan dasar yang menentukan waktu dan keadaan wewenang tersebut dapat dilaksanakan, termasuk rumusan dasar isi dan keputusan yang diambil.
2.      Wewenang bersifat fakultatif : yakni wewenang yang dimiliki oleh badan atau pejabat administrasi, namun demikian tidak ada kewajiban atau keharusan untuk menggunakan wewenang tersebut dan sedikit banyak masih ada pilihan lain walaupun pilihan tersebut hanya dapat dilakukan dalam hal dan keadaan tertentu berdasarkan aturan dasarnya.
3.      Wewenang bersifat bebas : yakni wewenang badan atau pejabat pemerintahan (administrasi) dapat menggunakan wewenangnya secara bebas untuk menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkan, karena peraturan dasarnya memberi kebebasan kepada penerima wewenang tersebut.
Walaupun melekat adanya wewenang bebas, namun demikian pemerintahan dalam melaksanakan fungsinya tidak dapat menggunakan wewenang bebas tersebut sebesar-besarnya, karena di dalam Negara hukum tidak ada wewenang dalam arti sebebas-bebasnya atau kebebasan tanpa batas. Wewenang selalu dijalankan dengan batasan-batasan hukum, mengingat wewenang hanya diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu legitimasi penyelenggaraan pemerintahan adalah wewenang yang diberikan oleh undang-undang (norma wewenang), dan substansi dari asas legalitas (legalitiet beginselen) dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah wewenang.[6]
Berdasarkan kepada latar belakang masalah yang telah di uraikan diatas, wewenang bebas atau yang biasa kita kenal dengan istilah diskresi atau freies Ermessen, hal tersebut sangat menarik untuk dibahas lebih mendalam, sehingga makalah ini diberi judul “Penggunaan Asas Diskresi Dalam Pelaksanaan Fungsi Pemerintahan”
B.     Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana penggunaan asas diskresi dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan?
2.      Apakah keuntungan dan kerugian penggunaan asas diskresi dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan?


BAB II
PEMBAHASAN
1.      Penggunaan Asas Diskresi Dalam Pelaksanaan Fungsi Pemerintahan
Dalam Negara modern dewasa ini yang dikenal dengan istilah “ Welfare State “atau Negara kesejahteraan, mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian pemerintah dituntut untuk bertindak menyelesaikan segala aspek/ persoalan yang menyangkut kehidupan warga negaranya, walaupun belum ada dasar aturan yang mengaturnya. Atas dasar ini maka pemerintah ddiberikan kebebasan untuk dapat melakukan/ bertindak dengan suatu inisiatif sendiri untuk menyelesaikan segala persoalan atau permasalahan guna kepentingan umum. Kebebasan untuk dapat bertindak sendiri atas inisiatif sendiri itu disebut dengan istilah “ Freies Ermessen”[7]
Apabila dibandingkan dengan Negara kita, Indonesia, freies Ermessen muncul bersamaan dengan pemberian tugas kepada pemerintah untuk merealisir tujuan Negara seperti yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena tugas utama pemerintah dalam konsep welfare state itu memberikan pelayanan bagi warga Negara, maka muncul prinsip “Pemerintah tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan alasan tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya[8]
Memaknai istilah freies Ermessen tidak dapat dipisahkan dengan konsep kekuasaan atau wewenang pemerintahan yang melekat untuk bertindak, yakni bertindak secara bebas dengan pertimbangannya sendiri dan tanggungjawab atas tindakan tersebut.
Secara etimologis, istilah freies Ermerssen berasal dari bahasa Jerman, frei artinya bebas, lepas, tidak terikat, merdeka. Freies artinya orang yang bebas, tidak terikat, dan merdeka. Sedangkan Ermessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga, memperkirakan. Freies Ermessen berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga, dan mempertimbangkan sesuatu.[9] Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “discretion” atau “discretion power”, di Indonesia lebih popular dikenal dengan istilah diskresi yang diterjemahkan “kebebasan bertindak” atau keputusan yang diambil atas dasar penilaian sendiri. Istilah freies Ermessen menurut Laica Marzuki adalah suatu kebebasan yang diberikan kepada badan atau pejabat administrasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, diemban dalam kaitan menjalankan bestuurzorg. Di dalam Black Law Dictionary “discretion” mengantung arti “A public official’s power or right to act in certain circumstances according to personal judgment and conscience”. Penekanan dalam arti tersebut pada kekuasaan pejabat publik untuk  bertindak menurut keputusan dan hati nurani sendiri. Tindakan tersebut dilakukan atas dasar kekuasaan atau wewenang yang melekat pada pejabat publik selaku pengambil keputusan.
Pengertian lain seperti dikemukakan oleh Prajudi Admosudirjo, diskresi adalah suatu kebebasan bertindak atau mengambil keputusan menurut pendapat sendiri, dan Nata Saputra memaknai freies Ermessen, adalah suatu kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi Negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan (doelmatigheid) daripada berpegang teguh kepada ketentuan hukum.[10]
Pemberian wewenang kepada pemerintah untuk bertindak bebas tersebut didasari pertimbangan, bahwa wewenang pemerintahan yang berdasarkan pada peraturan perundang-undangan tidak cukup untuk dapat berperan secara maksimal dalam melayani kepentingan masyarakat yang berkembang begitu pesat, dan dalam konsep Negara kesejahteraan (walfarestate), pemerintah lebih banyak menggunakan freies Ermessen dalam mewujudkan kesejahteraan umum.
Berkaitan dengan latar belakang pemberian wewenang freies Ermessen kepada pemerintahan tersebut, Laica Marzuki mengatakan, bahwa freies Ermessen merupakan kebebasan yang diberikan kepada tata usaha Negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan sejalan dengan meningkatnya tuntutan pelayanan publik yang harus diberikan tata usaha Negara terhadap kehidupan social ekonomi para warga yang kian komplek. Di sisi lain, Bachsan Mustafa mengemukakan, bahwa freies Ermessen diberikan kepada pemerintah mengingat fungsi pemerintah atau administrasi Negara yaitu menyelenggarakan kesejahteraan umum yang berbeda dengan fungsi kehakiman untuk menyelesaikan sengketa antara penduduk.
Di lihat dari beberapa pengertian dan latar belakang pemberian wewenang freies Ermessen di atas, dapat disimpulkan secara khusus, bahwa freies Ermessen atau diskresi (discretion), adalah suatu wewenang untuk bertindak atau tidak bertindak atas dasar penilaiannya sendiri dalam menjalankan kewajiban hukum. Oleh karena tindakan yang dilakukan atas dasar penilaian dan pertimbangannya sendiri, maka tepat dan tidaknya penilaian sangat dipengaruhi oleh moralitas pengambil tindakan.
Philipus M. Hadjon, lebih lanjut menyimpulkan, bahwa kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi meliputi dua kewenangan, yakni :
a.    Kewenangan untuk memutuskan secara mandiri
b.   Kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (vage norm)[11]
Secara praktis, kewenangan freies Ermessen pemerintahan yang kemudian melahirkan bentuk-bentuk kebijaksanaan memiliki dua aspek penting dan sebagai aspek pokok, yakni :
a.    Kebebasan untuk menafsirkan yang berkaitan dengan ruang lingkup dan batas-batas wewenang yang dirumuskan dalam peraturan dasar pemberian wewenang, dimana kebebasan tersebut disebut dengan kebebasan untuk menilai berdasarkan sifat yang obyektif, jujur, benar dan adil
b.   Kebebasan untuk menentukan sikap tindak, artinya bertindak atau tidak berdasarkan penilaian sendiri dengan cara bagaimana dan kapan wewenang yang dimiliki tersebut dilaksanakan, penilaian ini memiliki sifat subyektif, yakni berdasarkan nuraninya sendiri dalam mengambil keputusan.
            Timbulnya penilaian yang diyakini untuk bertindak bagi setiap pejabat pemerintahan sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang konkrit yang mengharuskan untuk bertindak. Namun demikian penilaian yang diyakini setiap individu sangatlah berbeda-beda tergantung dari pengalaman, pengetahuan, kecerdasan dan moralitas masing-masing. Berkait dengan hal tersebut setiap pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenang freies Ermessen tidak boleh digunakan secara sembarangan tanpa alasan yang rasional dan logis, akan tetapi selektif dan proporsional dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
            Wewenang untuk bertindak berdasarkan penilaiannya sendiri tersebut dalam rangka menjalankan kewajiban hukum dan kewajiban tugas, maka di dalam melakukan tindakan hukum wajib berpegang pada norma hukum maupun moral. Norma moral berkaitan dengan tindakan tersebut berdasarkan hati nuraninya, sedangkan norma hukum karena wewenang tersebut dijalankan atas dasar undang-undang (rechtmatigheid), sehingga dalam menilai suatu situasi konkrit diperlukan persyaratan-persyaratan bagi setiap aparat pemerintahan.[12]
Meskipun pemberian wewenang freies Ermessen kepada pemerintah merupakan konsekuensi logis dari konsepsi Negara kesejahteraan (walfare state), namun demikian dalam Negara hukum wewenang bebas bertindak tersebut tidak dapat digunakan tanpa batas dan tidak bisa hanya pendekatan kekuasaan saja, akan tetapi harus ada pembatasan-pembatasan tertentu. Pembatasan-pembatasan yang dimaksud adalah sebagai berikut :[13]
a.       Tidak boleh bertentangan dengan system hukum yang berlaku (kaidah hukum positif)
b.      Hanya ditujukan untuk kepentingan umum.
Sementara Sjachran Basah secara tersirat berpendapat bahwa pelaksanaan freies Ermessen tersebut harus dapat dipertanggung jawabkan “secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan, demi kepentingan bersama.”[14]
Di dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, freies Ermessen dilakukan oleh aparat pemerintah atau administrasi Negara dalam hal-hal, sebagai berikut :
a.       Belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian secara konkrit terhadap suatu masalah tertentu, sedangkan masalah tersebut menuntut penyelesaian dengan segera. Misalnya dalam menghadapi suatu bencana alam ataupun wabah penyakit menular, maka aparat pemerintah harus segera mengambil tindakan yang menguntungkan bagi Negara maupun bagi rakyat, tindakan mana semata-mata atas prakarsa sendiri.
b.      Peraturan perundang-undangan  yang menjadi dasar berbuat aparat pemerintah memberikan kebebasan sepenuhnya. Misalnya dalam pemberian izin berdasarkan Pasal 1 HO, setiap pemberi izin bebas untuk menafsirkan pengertian “menimbulkan keadaan bahaya” sesuai dengan situasi dan kondisi daerah masing-masing
c.       Adanya delegasi perundang-undangan, maksudnya aparat pemerintah diberi kesempatan untuk mengatur sendiri, yang sebenarnya kekuasaan itu merupakan kekuasaan aparat yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya dalam menggali sumber-sumber keuangan daerah. Pemerintah daerah bebas untuk mengelolanya asalkan sumber-sumber itu merupakan sumber yang sah
d.      Tindakan dilakukan dalam hal-hal tertentu yang mengharuskan untuk bertindak.[15]
Freies Ermessen ini diberikan hanya kepada pemerintah dalam arti sempit atau administrasi Negara baik untuk melakukan tindakan-tindakan biasa maupun tindakan hukum, dan ketika freies Ermessen ini diwujudkan dalam instrument yuridis yang tertulis, jadilah ia sebagai peraturan kebijaksanaan. Sebagai sesuatu yang lahir dari freies Ermessen dan yang hanya diberikan kepada pemerintah, maka kewenangan pembuatan peraturan kebijaksanaan itu inheren pada pemerintahan (inherent aan het bestuur)[16]
2.      Keuntungan Dan Kerugian Penggunaan Asas Diskresi Dalam Pelaksanaan Fungsi Pemerintahan
Kewenangan freies Ermessen sebagai penyelenggara pemerintahan bukanlah sebagai kekuasaan tidak terbatas, akan tetapi tetap tunduk pada peraturan perundang-undangan, hukum tertulis berupa asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur). Oleh karena itu penggunaan wewenang tindakan bebas dilakukan dengan syarat : [17]
a.       Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum
b.      Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan
c.       Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkup jabatannya
d.      Pertimbangan yang layak berdasar keadaan yang memaksa, dan
e.       Menghormati hak asasi manusia.
 Ada beberapa manfaat atau aspek kelebihan dalam penggunaan prinsip Freies Ermessen atau kebebasan bertindak oleh pejabat pemerintah yaitu diantaranya;
a.        kebijakan pemerintah yang bersifat emergency terkait hajat hidup orang banyak dapat segera diputuskan atau diberlakukan oleh pemerintah meskipun masih debatable secara yuridis atau bahkan terjadi kekosongan hukum sama sekali;
b.      badan atau pejabat pemerintah tidak terjebak pada formalisme hukum dengan asumsi bahwa tidak ada kekosongan hukum bagi setiap kebijakan publik (policy) sepanjang berkaitan dengan kepentingan umum atau masyarakat luas;
c.       sifat dan roda pemerintahan menjadi makin fleksibel, sehingga sektor pelayanan publik makin hidup dan pembangunan bagi peningkatan kesejahtraan rakyat menjadi tidak statis alias tetap dinamais seiring dengan dinamika masyarakat dan perkembangan            zaman.
Namun begitu, disisi lain kebebasan bertindak okleh apatur pemerintahan yang berwenang sudah tentu juga menimbulkan kompleksitas masalah karena sifatnya yang menyimpangi asas legalitas dalam arti yuridis (unsur exception).
Memang harus diakui apabila tidak digunakan secara cermat dan hati-hati maka penerapa asas freies Ermessen ini rawan menjadi konflik struktural yang berkepanjangan antara penguasa versus masayarakat.
Ada beberapa kerugian yang bisa saja terjadi jika tidak diantisipasi secara baik yakni diantaranya; 
a.       aparatur atau pejabat pemerintah bertindak sewenang-wenang karena terjadi ambivalensi kebijakan yang tidak dapat dipertanggujawabkan kepada masyarakat; 
b.      sektor pelayanan publik menjadi terganggu atau malah makin buruk akibat kebijakan yang tidak popoluer dan non-responsif diambil oleh pejabat atau aparatur pemerintah yang berwenang; 
c.       sektor pembangunan justru menjadi terhambat akibat sejumlah kebijakan (policy) pejabat atau aparatur pemerintah yang kontraproduktif dengan keinginan rakyat atau para pelaku pembangunan lainnya. 
d.      aktifitas perekonomian masyarakat justru menjadi pasif dan tidak berkembang akibat sejumlah kebijakan (policy) yang tidak pro-masyarakat dan terakhir adalah terjadi krisis kepecayaan publik terhadap penguasa dan menurunya wibawa pemernitah dimata masyarakat sebagai akibat kebijakan-kebijakannya yang dinilai tidak simpatik dan merugikan masyarakat.[18]







BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.   Kebebasan bertindak atau freies Ermessen boleh dilakukan oleh aparat pemerintah atau administrasi Negara dalam hal-hal, sebagai berikut :
a.       apabila terjadi kekosongan hukum
b.      apabila ada kebebasan penafsiran
c.       apabila ada delegasi wewenang dari perundang-undangan
d.      tindakan dilakukan dalam hal-hal tertentu yang mengharuskan untuk bertindak
      2. Penggunaan asas diskresi dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan mempunyai keuntungan dan kerugian
            Adapun keuntungan dalam penggunaan asas diskresi dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan adalah sebagai berikut :
a.       kebijakan pemerintah yang bersifat emergency terkait hajat hidup orang banyak dapat segera diputuskan atau diberlakukan oleh pemerintah meskipun masih debatable secara yuridis atau bahkan terjadi kekosongan hukum sama sekali;
b.      badan atau pejabat pemerintah tidak terjebak pada formalisme hukum dengan asumsi bahwa tidak ada kekosongan hukum bagi setiap kebijakan publik (policy) sepanjang berkaitan dengan kepentingan umum atau masyarakat luas;
c.       sifat dan roda pemerintahan menjadi makin fleksibel, sehingga sektor pelayanan publik makin hidup dan pembangunan bagi peningkatan kesejahtraan rakyat menjadi tidak statis alias tetap dinamais seiring dengan dinamika masyarakat dan perkembangan zaman.
Sedangkan kerugian dalam penggunaan asas diskresi dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan adalah :
a.       aparatur atau pejabat pemerintah bertindak sewenang-wenang karena terjadi ambivalensi kebijakan yang tidak dapat dipertanggujawabkan kepada masyarakat; 
b.      sektor pelayanan publik menjadi terganggu atau malah makin buruk akibat kebijakan yang tidak popoluer dan non-responsif diambil oleh pejabat atau aparatur pemerintah yang berwenang; 
c.       sektor pembangunan justru menjadi terhambat akibat sejumlah kebijakan (policy) pejabat atau aparatur pemerintah yang kontraproduktif dengan keinginan rakyat atau para pelaku pembangunan lainnya. 
d.      aktifitas perekonomian masyarakat justru menjadi pasif dan tidak berkembang akibat sejumlah kebijakan (policy) yang tidak pro-masyarakat dan terakhir adalah terjadi krisis kepecayaan publik terhadap penguasa dan menurunya wibawa pemernitah dimata masyarakat sebagai akibat kebijakan-kebijakannya yang dinilai tidak simpatik dan merugikan masyarakat
B. Saran
   1. Diskresi yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan berpotensi menimbulkan permasalahan hukum dan administratif, sehingga perlu diawasi oleh masyarakat beserta organisasi-organisasi yang concern terhadap good governance agar tidak terjadi perbuatan pemerintahan yang sewenang-wenang
2. Penggunaan asas diskresi dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan, hendaknya digunakan secara proporsional oleh aparat pemerintahan dan tidak merugikan rakyat dengan dalih untuk kepentingan umum.
Daftar Pustaka
Bega Ragawino, Hukum Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjajaran, Bandung, 2006
King Faisal Sulaiman, Freies Ermessen dalam www.google.com update tanggal 29 Oktober 2010 pukul 11.00 WIB
Muchsan, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981
Philipus M. Hadjon et al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Cetakan Kesepuluh, 2008
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2003
Sadjijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, 2008
Tri Widodo W. Utomo, Etika dan Hukum Administrasi Publik, Lembaga Administrasi Negara Perwakilan Jawa Barat, 2000


[1]  Tri Widodo W. Utomo, Etika dan Hukum Administrasi Publik, Lembaga Administrasi Negara Perwakilan Jawa Barat, 2000, hlm 34
[2]  Sadjijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, 2008, hlm 48
[3]  Philipus M. Hadjon et al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Cetakan Kesepuluh, 2008, hlm 8
[4]  Sadjijono, Ibid
[5]  Ibid, hlm 49-50
[6]  Ibid, hlm 52-55
[7]  Bega Ragawino, Hukum Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjajaran, Bandung, 2006, hlm 37
[8]  Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm 133
[9]  Ibid, hlm 130
[10] Sadjijono, Op.Cit, hlm 64-65
[11]  Ibid, hlm 66-67
[12]     Ibid, 68
[13]     Muchsan, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm 27-28
[14]     Sjachran Basan, dalam Ridwan HR, Op.cit, hlm 133
[15]  Muchsan, Ibid
[16]  A.M Donner dalam Ridwan HR, Op.Cit, hlm 134
[17]  Sadjijono, Op.Cit, hlm 70
[18] King Faisal Sulaiman, Freies Ermessen dalam www.google.com update tanggal 29 Oktober 2010 pukul 11.00 WIB